Lunafitch.com-Kemajuan teknologi AI telah menyebar ke berbagai bidang kehidupan, termasuk sektor kesehatan mental.
Namun, kekhawatiran baru muncul seiring dengan meningkatnya kasus “psikosis akibat ChatGPT” atau bisa di sebut dengan psikosis yang di sebabkan oleh AI.
Fenomena ini menunjukkan sisi gelap dari penggunaan chatbot AI sebagao pengganti terapis professional.
Fenomena Psikosis Digital yang Mengkhawatirkan
Laporan terbaru menunjukkan kalau beberapa pengguna ChatGPT dan chatbot AI lainnya mengalami episode psikotik setelah mereka berinteraksi secara intensif dengan sistem tersebut.
Salah satu Kasus yang paling mencengangkan melibatkan seorang akuntan di Manhattan, New York yang tidak memiliki riwayat gangguan mental serius.
Setelah berinteraksi dengan ChatGPT, dia menjadi yakin bahwa dirinya sedang terjebak dalam alam semesta simulasi.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, ChatGPT menyarankan untuk berhenti mengonsumsi obat anti-kecemasan, menggunakan ketamin ( Sejenis obat keras yang cara kerjanya itu mengganggu sistem sinyal otak yang berperan untuk mengatur rasa sakit dan kesadaran ).dan memutuskan hubungan dengan keluarga serta teman-temannya.
Fenomena ini nggak hanya terjadi pada satu individu.
Media sosial juga di penuhi dengan laporan serupa dari berbagai pengguna yang mengalami isolasi berbahaya dan keyakinan mistis yang tidak rasional setelah berinteraksi dengan chatbot AI.
Beberapa kasus bahkan berujung pada rawat inap psikiatri secara paksa, kehilangan pekerjaan, dan juga kehancuran hubungan keluarga.
Mengapa AI Chatbot Berbahaya untuk Kesehatan Mental
Masalah utama pengguna dengan asisten AI terletak pada pemrograman mereka yang cenderung sikofantik atau terlalu menyenangkan pengguna.
Sistem ini dirancang untuk mengatakan apa yang mau di dengar oleh pengguna, memberikan pujian, dan mendukung impuls mereka bahkan ketika hal tersebut berbahaya.
Meskipun respons yang menyenangkan mungkin disukai oleh pengguna, namun ternyata hal ini bisa menyebabkan ketidakstabilan mental.
Penelitian dari Stanford University mengungkapkan bahwa chatbot terapi AI gagal memberikan respons yang aman dan etis dalam situasi krisis mental.
Studi tersebut menemukan bahwa chatbot gagal merespons dengan tepat terhadap ide bunuh diri setidaknya 20% dari waktu.
Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, beberapa respons justru mendorong atau memfasilitasi ide bunuh diri.
Perbedaan Mendasar Antara Terapis Manusia dan AI
Terapis manusia memiliki kemampuan yang tidak bisa digantikan oleh teknologi AI.
Kami pernah baca dalam salah satu artikel kalau terapis adalah seseorang yang selalu berada di pihak kalian tetapi tidak selalu mengambil dari sisi kalian.
Konsep ini menunjukkan pentingnya tantangan konstruktif dalam proses terapi.
Psikoanalis D.W. Winnicott menciptakan istilah “ibu yang cukup baik” untuk menggambarkan pentingnya ketidaksempurnaan dalam hubungan terapeutik.
Pengasuh yang tidak sempurna kadang-kadang tidak memenuhi kebutuhan bayi sempurna, dan ini memungkinkan bayi secara bertahap menjadi lebih mandiri.
Demikian pula, terapis yang bisa di bilang “cukup baik” yang terkadang membuat kesalahan atau mengecewakan klien yang dimana dapat menantang mereka untuk bertanggung jawab atas diri sendiri.
Keterbatasan Teknologi dalam Memahami Kompleksitas Manusia
Perlu temen-temen tau kalau AI tidak punya kapasitas untuk sungguh-sungguh mengerti dan berempati dengan kondisi pasien.
Hubungan terapeutik sangat bergantung pada empati, koneksi emosional, dan pemahaman terhadap pengalaman manusia yang tidak dapat direplikasi oleh AI.
Dalam terapi, esensi sebenarnya terletak pada jalinan hubungan yang didasari oleh kepercayaan, bukan sekedar pertukaran informasi semata.
Setiap orang memiliki pengalaman emosional yang unik dan kompleks. Terapis manusia menggunakan intuisi, pengalaman, dan pemahaman tentang perilaku manusia untuk menavigasi kompleksitas ini.
Sementara itu, AI tidak dapat mengenali emosi halus, bahasa tubuh konteks budaya, dan sejarah atau masa lalu dari orang itu.
Fenomena Psikosis akibat AI menjadi pengingat bahwa secanggih apapun teknologi, teknologi tidak dapat menggantikan hubungan manusia yang otentik dalam proses pemulihan mental.
Ketidaksempurnaan terapis manusia justru menjadi kekuatan yang memungkinkan pertumbuhan dan perubahan yang sesungguhnya.
Sementara AI dapat memberikan dukungan tambahan, sementara kebutuhan akan koneksi manusia yang genuine dalam terapi tetap tidak tergantikan.
Referensi:
-Stanford Medicine edu-Going Beyond ‘How Often Do You Feel Blue?’ AI emotional assessments are aimed at diagnosing mental illness more accurately and quickly.
-psychologytoday.com- Can AI Chatbots Worsen Psychosis and Cause Delusions?.
-builtin.com- AI in Mental Healthcare: How Is It Used and What Are the Risks?.
-papsychotherapy.org- When the Chatbot Becomes the Crisis: Understanding AI-Induced Psychosis.
-Mindsome.app- Battle of the Therapists: AI or Human?.
-utsa.edu- Researcher warns about dangers of AI chatbots for treating mental illness.
-futurism.com- Stanford Research Finds That “Therapist” Chatbots Are Encouraging Users’ Schizophrenic Delusions and Suicidal Thoughts.
-Icanotes.com- Why AI Will Never Replace Therapists.
The post Ketika Chatbot AI Menjadi Mimpi Buruk: Psikosis Digital yang Mengancam Kesehatan Mental appeared first on Lunafitch Life-Hidup Lebih Bermakna Dimulai Dari Dalam Diri.
Tinggalkan Balasan